Media sosial tengah gempar dengan sejumlah updatean yang bermunculan dari laman akun resmi baik dari akun media sosial dan pemerintah terkait isu yang masih “sensitif” di kalangan masyarakat.
Yap, konten yang sedang booming yakni ASN diperbolehkan poligami. Sontak mencuat berbagai kolom komentar dari masyarakat yang pro dan kontra.
Alih-alih, banyak yang memilih untuk kontra lantaran di Indonesia saat ini masih sangat asing dan tabu masyarakat yang telah berkeluarga beristrikan lebih dari 2 (dua) orang.
Ini yang membuat saya secara pribadi ingin mengutarakan pendapat opini pribadi saya terkait konteks isu yang masih dinilai sensitif saat ini dari berbagai perspektif yang mencuat terkait poligami ini.
Aturan ini sebetulnya sudah lama diatur oleh pemerintah dari 40 (empat puluh) tahun yang lalu.
Dikutip dari media kompas.com, aturan ini bukan berasal dari kebijakan yang dikeluarkan oleh BKN, tetapi sudah lama diatur di dalam regulasi mengenai “Izin Perkawinan dan Perceraian PNS”.
Saya pikir, pemerintah sengaja mengangkat berita ini kembali sehingga menjadi isu yang menarik agar banyak mendapat respon dari masyarakat.
Pemerintah memang coba menggunakan media sosial ini semacam bagian opini publik tertentu tentang sebuah kebijakan dan kemudian ingin melihat apakah isu ini diterima dengan baik atau bagaimana arah opini publik.
Memang pemerintah membuat aturan ini agar mengurangi angka perceraian dalam sebuah keluarga dan ingin ASN tetap bekerja dengan profesional karena rumah tangga yang harmonis akan memberikan dampak ASN lebih profesional di kantor (mengingat jumlah ASN tiap tahun sekarang semakin banyak) dengan syarat-syarat boleh berpoligami yang lulus kualifikasi oleh ASN tersebut.
Hanya saja, saya merasa ini menjadi tidak adil bagi perempuan dan merunut ke arah ketimpangan gender. Faktanya, menurut data dari komnas HAM perempuan catahu tahun 2023 mencatat, rata-rata lebih dari kasus kurang lebih 700 kasus perkawinan itu bercerai dikarenakan poligami dan di Indonesia praktek-praktek poligami itu lebih banyak terjadi akibat perselingkuhan.
Ini merupakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) secara psikis. Salah seorang konselor pernikahan di salah satu kota Jambi (yang tidak bisa saya sebutkan namanya) kala itu, saya pernah berkonsultasi rumah tangga kepadanya dan dia mengeluarkan pendapat bahwa perempuan masih dianggap tabu melakukan perselingkuhan dibanding laki-laki dikarenakan suami mempunyai izin poligami sedangkan perempuan tidak. Serta, pendapat-pendapat pribadi dari masyarakat yang sama berkata demikian.
Kesimpulan: Dari sini, saya ingin menarik kesimpulan bahwa walau seorang perempuan telah menempuh profesi yang baik dan berpendidikan yang tinggi tetap melekat pada dirinya (streotipe) bahwa perbuatan keliru seperti salah satunya perselingkuhan ini menjadi sebuah kekeliuran yang lebih mendalam jika dilakukan oleh perempuan dibandingkan laki-laki karena laki-laki mempunyai hak untuk memperoleh izin poligami.
Padahal, data komnas HAM perempuan telah membuktikan bahwa banyak pernikahan poligami di Indonesia ini menjadi massive dikarenakan terjadi awalnya dari sebuah perselingkuhan. Saya ingin, streotipe untuk hal tabu yang dinilai tidak layak dilakukan oleh perempuan ini menjadi “sama” penglihatannya baik di kalangan perempuan dan laki-laki.
Perselingkuhan menjadi tidak sangat layak dilakukan baik perempuan dan laki-laki karena perbuatan tercela. Saya ingin sesama perempuan harus “woman support woman” saling suportif agar streotipe ini menghilang.
Berkaitan dengan UU ASN tersebut, saya termasuk yang kontra dikarenakan aturan ini lebih berpihak kepada laki-laki sehingga hak perempuan lebih melemah (jika kita melihat data komnas HAM perempuan tadi yang disebut diatas).
Saya pernah ikut ceramah yang disampaikan oleh guru alm Prof. Dr. Lias Hasibuan, MA (Guru Besar UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi) di depan dharma wanita kampus IAIN Kerinci di tahun 2022 saat itu, alm guru menyampaikan salah satu ayat QS. al-Nisa’ (4): 3 yang difirmankan oleh Allah SWT yang berbunyi:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Menurut alm guru Prof Lias, disampaikan oleh beliau bahwa sebetulnya islam lebih menyukai dan menyeru kepada laki-laki menikahi satu saja diakhir kalimat ayat tersebut.
Tidak hanya itu, menurut Prof Alimatul Qibtiyah (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW menikah dengan Khodijah itu dalam perkawninan yang monogami selama 25 tahun dan diakhir hayat nya dalam berpoligami, nabi tidak mengizinkan putrinya, Fatimah untuk tidak dipoligami. “Kebahagiaan Fatimah adalah kebahaagiaanku dan kesedihan Fatimah adalah kesedihanku”, Kata Rasulullah SAW.
Maka, se-yogyanya prinsip pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang monogami dan bisa memberikan pemahaman kepada masing-masing pasangan untuk memahami tangki-tangki cinta agar terpenuhi masing-masing.
Pernikahan monogamilah yang lebih ideal dan tumbuh kembang anak menjadi lebih bahagia dan sehat serta menumbuh-kembangkan perasaan yang lebih tentram dan tenang.
*) Penulis adalah seorang akademisi
Klinik Pratama 16 Medika Jambi Buka Layanan Vaksin Meningitis, Dilakukan Vaksinator Tersertifikasi
Cerita Melly yang Berhasil Ciptakan Perubahan, Dari Warga Binaan, Kini Sukses Buka Lapangan Kerja
Gelar Musrenbang RKPD Tahun 2026, Pemprov Jambi Launching Quick Wins Pro Jambi
Petani Binaan Pertamina EP Jambi Field Sukses Panen Jagung dan Tomat