Oleh: Dony Yusra Pebrianto
Tidak ada asap kalau tidak ada api, begitulah agaknya Bahasa kiasan orang tua dulu untuk menggambarkan kondisi di mana bermakna secara umum tentang bahwa tidak aka nada akibat jika tidak ada sebab. Agaknya masyarakat kita (khususnya Provinsi Jambi) yang setidaknya dalam beberapa periode terakhir menjadi bencana 4 tahunan dan semakin akrab dengan kebakaran hutan.
Betapa tidak, tahun ini kabut asap kian menyesakkan dan memperparah kondisi polusi di jambi (wilayah lain juga tentunya) yang apabila dirunut ke belakang pernah terjadi pada Tahun 2019, tahun 2015 dan begitu juga sebelumnya.
Tentu hal ini perlu menjadi perhatian kita Bersama, mengingat Kesehatan ekologis tidak hanya berbicara bagaimana kehidupan manusia saat ini saja, namun juga generasi yang akan datang.
Analisis faktor tentu sangat penting mengingat ini kejadian berulang yang semestinya sudah harus bis akita antisipasi.
Apalagi dampak dari kejadian ini luar biasa hebat, dan tentunya focus tulisan ini menyisir akar permasalahan yang akan dikaji dan dianalisis dalam aspek hukum. Maka dalam hal ini ada beberapa titik persoalan dan dampak yang perlu untuk ditinjau dan ditelisik.
Kebakaran Hutan dan Lahan: Lemahnya Sanksi dan Penegakan Hukum
Anomali sanksi dan penegakan hukum atas tindakan pembakaran hutan dan lahan tentu menjadi perhatian pertama dan paling utama saat ini. Betapa tidak, kebakaran hutan dan lahan menjadi penyebab utama dari kabut asap yang terjadi saat ini.
Pada prinsipnya Konsep hukum lingkungan di Indonesia telah mengatur secara gambling berkenaan sanksi terhadap pembakaran hutan dan lahan, namun patut kita akui dalam aspek penegakannya belum memberikan efek yang nyata terhadap upaya pengurangan angka kebakaran hutan dan lahan.
Tentunya penyebabnya menurut pandangan Penulis. Misalnya berkenaan dengan persepsi masyarakat kita tentang keberadaan sanksi pidana yang justru anomalinya di dalam Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup masih bersifat Ultimum Remedium.
Tentunya keberadaan prinsip tersebut menjadi angin segar bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan di saat adanya tensi yang menurun dalam penegakan pidana di tengah masyarakat yang masih sangat menganggap momok penegakan hukum yang paling ditakuti adalah sanksi pidana.
Sebenarnya rasio logisnya keberadaan prinsip ini adalah justru mengejar penegakan hukum administrasi dan perdata. Dimana justru yang diharapkan adalah adanya pengembalian kondisi lingkungan yang baik seperti sedia kala. Kalau bisa dibarengi dengan sanksi pidana kenapa tidak? Justru terhadap individu yang dengan sengaja baik secara langsung atau karena perintahnya menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan sudah sepatutnya justru hukum pidana dijadikan sebagai hukum yang bersifat premium remedium di dalam hukum lingkungan ke depan.
Di samping itu keberadaan hukum administrasi dan perdata yang justru terkesan setengah hati juga perlu untuk dipikirkan ke depan dengan penerapan pencabutan izin perusahaan serta kewajiban membayar ganti rugi kepada masyarakat yang terdampak baik secara materiil mauoun imateriil.
Ancaman Gugatan Negara Tetangga, Masihkah Negara “Mau” bertanggung Jawab Mutlak?
Pada Tahun 2014 negara singapura telah mengeluarkan sebuah undang-undang yang sangat fenomenal karena bersifat ekstraterritorial yakni Transboundary Haze Pollution Act 2014 yang membuka keran bagi singapura untuk dapat menuntut dan mengadili pelaku yang menyebabkan pencemaran asap lintas batas secara ekstraterritorial.
Sekalipun peraturan ini dianggap tidak logis dan mendapat banyak penentangan khususnya para akademisi dan pemerhati Hukum Internasional, namun jika kita menangkap secara jernih persoalan ini tentu menggambarkan masifnya dampak kebakaran hutan dan lahan yang tidak hanya berdampak secara nasional saja, bahkan melintasi lintas batas.
Padahal jika kita runut kepada prinsip hukum internasional khususnya hukum lingkungan internasional terdapat suatu prinsip yang sangat fundamental bahwa setiap negara mesti menjadi tetangga yang baik bagi negara tetangganya, tentu ini anomaly juga bagi Indonesia ditambah lagi dengan konsepsi state responsibility yang juga melekat kepada negara yang mesti bertanggung jawab.
Namun sampai kapan negara harus “pasang badan” untuk para penjahat lingkungan ini?. Di samping itu tidak sedikit anggaran negara yang kemudia dihabiskan untuk menyelesaikan kebakaran hutan dan lahan yang notabene jelas tidak dibakar oleh negara, sekalipun jika dikaji sedikit lebih jauh bahwa salah satu penyebabnya adalah kelalaian negara dalam mengawasi lingkungan dan izin yang dikeluarkannya.
Pemilu dan Isu Kabut Asap
Mungkin kita masih ingat dengan apa yang terjadi dalam 3 tahun ke belakang di saat pandemi covid 19 melanda dunia. Di saat semua sector lumpuh yang berdampak kepada turunnya kualitas ekonomi dunia. Begitu pula kabut asap ang juga berdampak demikian.
Setiap periode Pemilu daalam semua tingkatan dan termasuk dalam pemilihan kepala daerah. Justru pertanyaannya sejauh mana isu ini menjadi isu utama yang oatut untuk diperbincangkan? Sejauh mana para peserta pemilu dan pilkada mengulas permasalahan ini? Bukankah ini juga persoalan kesejahteraan rakyat?.
Apalagi jika ditinjau dari prinsip keadilan antar generasi, bisa dikatakan kita telah zolim dengan generasi yang akan datang dengan mewarisi lingkungan yang rusak. Agaknya agenda politik kita masih abai dengan isu-isu seperti ini, mungkin dianggap kurang menjual atau justru tidak populis?
Perlu political will dan reformasi regulasi
Perubahan regulasi tentu sangat penting, namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana political will para pemangku kepentingan. Agaknya kita semua larut dalam adegium hubungan hukum dan kekuasaan di saat hukum tanpa kekuasaan anyalah angan-angan semata. P
Perubahan dan penguatan regulasi perlu dilakukan mulai dari undang-undang hingga pengaturan di tingkat lokal, begitu juga komitmen yang juga menuntut komitmen kuat dari pusat hingga daerah.
Agaknya negara sudah perlu berpikir untuk berhenti menjadi pemadam kebakaran bagi penjahat lingkungan ini.
Sekolah beralih ke daring, pasar sepi, ekonomi lumpuh, masihkah kita mempertahankan ketidakberdayaan ini? Atau justru kita terlena dengan kekuasaan kapital sehingga kita tidak mampu berbuat banyak? Atau kita justru siap dianggap zolim oleh generasi yang akan datang?. Solusinya hanya satu, penguatan dan reformasi regulasi dengan dibarengi dengan penguatan komitmen kita semua agar kita mewarisi masa depan lingkunhgan yang lebih baik.
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi
Grand Opening, Klinik Pratama 16 Medika Beri Promo Menarik dengan Layanan Prima dan Biaya Terjangkau
Ketua DPRD Provinsi Jambi Harap Usulan Dalam RDPU Bersama Komisi V DPR RI Segera Ditindaklanjuti
Komisi I DPRD Provinsi Jambi Pertanyakan Indeks Kemerdekaan Pers Jambi yang Turun ke Dewan Pers
Komisi III DPRD Provinsi Jambi RDPU dengan Komisi IV DPR RI, Sampaikan Beberapa Usulan
Terduga Pelaku Pelecehan Anak Diduga ASN Pemprov Jambi Diciduk
Menko Polkam Sebut Sulit Ungkap Kasus yang Jerat Eks Ketua KPK Firli Bahuri
Perhelatan Pilrek UIN STS Jambi: Penting Menjaga Integritas Diri dan Institusi