Merajut Asa: Polemik Permasalahan Lingkungan dari Praktik Pertambangan Timah Ilegal

Jumat, 05 April 2024 - 11:38:07 WIB

*) Oleh: Maimunah Permata Hati Hasibuan

KALAULAH mendengar tentang Provinsi Bangka Belitung, dalam pikiran sejenak pasti kita membayangkan keindahan pulau yang alami nan eksotik. Kenapa? Karena provinsi ini adalah provinsi yang luasnya tidak terlalu besar (karena pulau) dan termasuk dalam wilayah Pulau Sumatera.

Saya pernah diajak orangtua saya berlibur ke Provinsi Bangka Belitung khususnya berkunjung ke kota Bangka pada tahun 2015 saat libur lebaran. Saya berkunjung ke pantai Parai, kemudian ke Goa Bunda Maria di Belinyu dengan potret sejarah nasrani di daerah sana dan banyak tempat wisata lagi di kota Bangka.

Tidak hanya itu, pernah booming juga film Laskar Pelangi di Belitung yang menyoroti keindahan pulau disana. Film ini eksis pada tahun 2008. Namun, dibalik keindahan tersebut terdapat pula kekayaan bahwa provinsi ini adalah penghasil timah terbesar di Indonesia dengan mendominasi 90% dari produksi timah nasional.

Akan tetapi, kenapa dikatakan bahwa penghasil timah terbesar namun menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2023, Babel menjadi provinsi dengan persentase penduduk miskin terendah keempat di Indonesia, yakni 4,52 persen. Hanya saja, Babel menjadi provinsi dengan garis kemiskinan tertinggi di Indonesia, yaitu Rp 874.204 per kapita per bulan? Bukannya harusnya warganya sejahtera? Mari kita kilas balik tentang penambangan timah ilegal ini.

Kilas Balik Sejarah Timah dan Kepentingannya

Menurut Indra Ibrahim pada jurnal Selisik, mengatakan bahwa pada saat masa kolonial Belanda, terdapat tiga perusahaan pertambangan timah. Yakni, Bangka Tin Winning Bedrijft (BTW), Gemeenschaappelijke Mijnbouw Maatschaappij Biliton (GMB) dan Singkep Tin Exploitatie Maatschaappij (SITEM). 3 (tiga) Kolonial Belanda mendatangkan pekerja tambang sebagai kuli kontrak dari daratan China, mereka ini kemudian menjadi cikal bakal suku Tionghoa yang secara turun-temurun berdomisili di Bangka Belitung.

Antara tahun 1953 sampai dengan tahun 1958, ketiga perusahaan tersebut dinasionalisasi menjadi perusahaan negara, yaitu: BTW menjadi PN Tambang Timah Bangka, GMB menjadi PN Tambang Timah Belitung dan SITEM menjadi PN Tambang Timah Singkep. Pada tahun 1968 ketiga perusahaan negara itu dilebur menjadi satu perusahaan PT Tambang Timah, yang selanjutnya dirubah menjadi PT Tambang Timah (Persero).

Saat penambangan timah dikuasai oleh PT. Tambang Timah, penduduk asli Bangka Belitung umumnya menempati posisi pekerja rendahan di perusahaan, posisi-posisi menengah-atas dipegang oleh orang luar daerah. Timbul kesenjangan sosial antara penduduk asli dan karyawan rendahan disatu pihak dan para staff serta petinggi PT. Tambang Timah dipihak lain.

Kesenjangan itu terletak pada fasilitas dan perlakuan istimewa dari perusahaan dalam hal: layanan kesehatan, hiburan, olahraga, pendidikan dan lain-lain. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial yang membekas lama dihati penduduk lokal. Orang yang mempunyai kekuasaan menjadi semakin kaya dan orang yang hanya masyarakat biasa hanya bisa gigit jari dan pasrah menjadi pekerja rendahan di perusahaan timah tersebut tanpa adanya kesempatan untuk berkembang. 

Adapun kepentingan timah ini sebetulnya memenuhi kebutuhan sehari-hari manusia. Seperti, timah dapat menjadi produksi wadah makanan dari baja, kabel superkonduktor diproduksi menggunakan paduan timah, sebagian besar kaca jendela dibuat dengan mengapungkan kaca cair di atas timah cair untuk menciptakan permukaan yang rata, sebagian besar timah digunakan sebagai paduan dengan logam lain seperti timbal atau seng atau sebagai lapisan pelindung dan timah digunakan dalam produksi kaca, paduan bantalan, pelapis untuk wadah baja, solder untuk menghubungkan pipa atau sirkuit listrik/elektronik, dan penggunaan bahan kimia timah lainnya.

Efek Penggalian Timah yang Ilegal Penyebab Kerusakan Lingkungan

Dikutip dari kompas.id, masyarakat Bangka Belitung sebetulnya sudah banyak tahu bahwa praktik penggalian tambang timah secara ilegal ini sudah banyak terdapat ‘permainan’ oleh pengusaha yang tidak tersentuh oleh aparat. Bahkan sudah menjadi bahan pembicaraan sehari-hari.

Hanya saja, yang mengagetkan adalah masyarakat sontak dibuat terkejut karena menurut akademisi IPB University, Bambang Hero Saharjo mengatakan bahwa kerugian lingkungan ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan lingkungan di iming-iming mengalami kerugian sebesar Rp. 271.069.688.018.700,- artinya bahwa angkat fantastis ini adalah angka kerugian terbesar selama Indonesia merdeka. 

Hal tersebut tidaklah tentram dan aman bagi bumi yang berporos berputar untuk bisa menjaga keseimbangan ekosistemnya. Banyak sekali aspek-aspek lingkungan yang terabaikan dari praktik pertambangan ilegal timah ini. Dari fauna, bagaimana fauna dapat berjalan dengan aman dan berperan sebagai rantai makanan penyeimbang ekosistem bumi bilamana rumah bagi habitatnya terabaikan akibat massive-nya pertambangan timah ini.

Salah satu contoh, dilansir oleh BBC News bahwa terdapat konflik buaya dan manusia di Indonesia terparah di dunia, ratusan orang kehilangan nyawa. Menurut Sairah (warga setempat) lubang-lubang bekas tambang timah disebut kolong oleh warga setempat berjarak hanya sekitar 50 meter di belakang rumahnya.

Kolong itulah yang menjadi satu-satunya sumber mata air bagi keluarganya dan warga kampung yang lain. Namun na’as akibat habitat yang habis dikeruk oleh galian timah menjadikan reptil buas buaya ini tidak memiliki tempat dan alhasil mencari makan di perkampungan warga. Hal inilah yang dapat membuat kenyamanan dan kehidupan warga setempat terancam.

Salah satu satwa yang paling banyak diselamatkan adalah buaya muara (Crocodylus porosus). Karena maraknya pertambangan ilegal yang membuat masifnya kerusakan lingkungan, konflik buaya dan manusia semakin sering terjadi lima tahun terakhir.(Kompas/Adrian Fajriansyah)

Tidak hanya dari fauna, dari hutan pun ikut terjamah dengan penambangan timah yang ilegal. Salah satunya rusaknya hutan bakau. Salah satu lokasi hutan bakau tersebut ada pada Desa Belo Kecamatan Mentok. Ditemukan sebanyak delapan mesin robin dan sejumlah selang yang digunakan untuk menyedot pasir timah.

Padahal, keberadaan hutan bakau ini penting karena memberikan berbagai manfaat salah satunya yakni sebagai penyaring dan penjaga mutu kualitas air. Kawasan hutan dan diluar kawasan hutan pun juga turut rusak. Akibatnya, banyak kawasan hutan rusak berdampak pada ekosistem dan satwa liar yang hidup di dalamnya menjadi terganggu.

Dilansir dari Bangkapost.com dapat diketahui luas kawasan hutan di Bangka Belitung yaitu 665.000 hektar (Ha) lahan hutan yang rusak atau kritis mencapai 20.000 hektar. Padahal, manusia butuh oksigen dan oksigen dihasilkan dari hutan. Tidak hanya itu, ekosistem yang rusak akan menjadikan satwa-satwa yang hidup di hutan juga terancam punah akibat habitatnya yang hilang. 

Dari segi masyarakat. Para pengusaha yang terlibat di dalam pertambangan ilegal timah ini pun semakin kaya, namun masyarakat Bangka Belitung tidak sejahtera yang mana mereka adalah penduduk yang tinggal di tanah penghasil biji timah terbesar akibat adanya kerakusan oleh pengusaha yang semakin kaya dan makmur.

Lahan yang dulunya menjadi perkebunan bagi masyarakat dimana bisa menghasilkan komoditas berupa lada dan lain-lain kini berubah fungsi menjadi lahan penggalian timah. Banyak masyarakat yang putus sekolah dan tidak menempuh jenjang sekolah yang tinggi dikarenakan menjadi pekerja kasar pabrik timah karena tidak ada pilihan.

Dilansir dari Kompas.id, merujuk pada BPS 2023 Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) di Babel hanya 18,19 persen atau terendah di Indonesia. Sebaran angka putus sekolah di Indonesia pada 2022 menunjukkan Babel menjadi provinsi dengan persentase angka putus sekolah untuk jenjang SMA tertinggi di Indonesia, yakni 3,62 persen. Penyebab ini terjadi karena terbuainya anak-anak yang mudah mendapatkan uang sehingga generasi mudanya memilih kerja sebagai petambang timah ilegal.

Risiko ke depannya pun masyarakat Babel akan menjadi masyarakat budak karena mereka hanya mampu bekerja tanpa memiliki pengetahuan. Ujung-ujungnya, saat akses kepada kenikmatan sesaat itu tertutup, mereka bingung mau melakukan apa. Akhirnya, kejahatan sosial akan merajalela. 

Hal tersebut sangat berbeda dengan keadaan para cukong pengusaha yang terlibat dalam praktir ilegal pertambangan timah. Ada 16 tersangka koruptor yang background-nya pun sangatlah kaya dan semakin kaya. Salah satunya adalah crazy rich PIK, Helena Lim yang diketahui memiliki kawasan rumah bergaya Maroko lapisan emas dengan mobil harga miliaran rupiah serta harta-harta lainnya.

Masyarakat Indonesia banyak yang merasakan geram dan amarah karena Helena Lim ini kerap memamerkan harta-hartanya di media sosial yang ternyata tak lazim ada noda timah di setiap barang-barang mewahnya serta dengan para tersangka koruptor lainnya.

Sangat memprihatikan bilamana kita melihat korban dari masyarakat Provinsi Babel dengan sejuta polemik permasalahan lingkungan dari keanekaragaman hayati-nya yang kandas namun pengusaha yang mengolah timah tersebut semakin kaya. Hal inilah yang sedang diusut dan diberantas oleh aparatur negara agar keadilan dapat ditegakkan.

Merajut Asa Peran Konservasi Upaya Penyelamatan 

Peran konservasi adalah tidak berbicara penyelamatan saja, tapi berbicara aspek kesejahteraan masyarakat.

Dari berbagai polemik kerusakan lingkungan tadi dari praktik ilegal pertambangan timah seperti rusaknya fauna, hutan, dan masyarakat yang semakin miskin dan rendahnya pendidikan tersebut sangat menjadi tugas bagi pemerintah dan kita semua untuk saling bahu-membahu dalam melaksanakan peran konservasi untuk kemakmuran provinsi Bangka Belitung yang lahannya telah rusak oleh tambang timah ilegal tersebut.

Seperti salah satunya dari fauna, Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menyiapkan 157 hektare kawasan konservasi bagi buaya muara guna mengatasi konflik buaya dan manusia di daerah setempat. Berdasarkan antaranews.com, wawancara dengan kepala DLHK Provinsi Kep. Babel Fery Afriyanto mengatakan bahwa akan menyiapkan kawasan konservasi buaya ini di kawasan hutan lindung Gunung Maras Kabupaten Bangka.

Dia mengatakan juga untuk pembangunan kawasan konservasi buaya seluas 157 hektare di kawasan hutan lindung Gunung Maras sebagai langkah pemerintah daerah untuk mengatasi masalah konflik buaya dan manusia yang mengalami peningkatan.

Keberhasilan program konservasi ditentukan oleh adanya partisipasi aktif masyarakat dalam memecahkan permasalahan dan kendala yang ada di lapangan. Oleh karena itu, pengubahan paradigma dan perilaku masyarakat terhadap alam sangat penting bagi keseimbangan lingkungan.

Pemberdayaan kearifan lokal menjadi cara efektif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya keseimbangan antara manusia dengan alam sebagai konsekuensi dari adanya sifat saling ketergantungan. Prinsip tersebut mengarah pada pembatasan eksploitasi alam dengan memperhatikan konservasi lingkungan.

Edukasi untuk masyarakat tentang pentingnya menjaga hutan dan memberikan pengetahuan tentang pengolahan HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) ini menjadi efektif agar masyarakat tidak selalu tergiur untuk mencari kesejahteraan tanpa mengorbankan fungsi hutan. Generasi muda yang tergabung dalam peserta didik di sekolahan juga bisa diberikan edukasi bagaimana memanfaatkan lahan ex tambang timah untuk menjaga lingkungan dan menggiatkan kegiatan konservasi sejak usia muda.

Materi yang diberikan pada kegiatan sosialisasi dan penyuluhan edukasi konservasi lingkungan mampu memberi pengetahuan baru kepada peserta serta meningkatkan kesadaran peserta didik untuk dapat menjaga lingkungan. Dengan penyadartahuan lingkungan akan membuat peserta didik tidak hanya mengetahui upaya konservasi secara teoritis, namun bisa menjadi sikap untuk melakukan tindakan “cinta hijau”.

Namun daripada peran konservasi diatas, yang paling wajib melakukan reklamasi adalah perusahaan tersebut karena status PT Timah yang merupakan bagian dari BUMN. Dengan kerugian lingkungan di Provinsi Babel yang mencapai nominal 271 triliun rupiah ini perlu dilakukan wajib reklamasi oleh perusahaan terkait. Wajib reklamasi pun harus 100 persen.

Tentu saja dengan jaminan dari negara dan komitmen untuk mereklamasi pasca tambang di masa depan, tentu saja IUP milik PT Timah tidak akan dicabut. Namun hal ini terjadi ketimpangan dikarenakan Berdasarkan Statistik Pertambangan Bahan Galian Indonesia 2022, dana pemulihan lingkungan akibat usaha penggalian di Bangka Belitung hanya berkisar Rp 15 miliar.

Maka, masyarakat dan pemerintah yang terdampak langsung dengan akibatnya pun menjadi sangat terbebani. Perlu dari kita semua untuk meningkatkan moralitas dan perspektif kita untuk selalu hidup sederhana dan mencintai lingkungan kita. Sebab, kita ada karena lingkungan kita asri dan harmonisasi kehidupan itu tumbuh dan berjalan antara manusia dan alamnya. Lingkungan yang berkelanjutan, adil dan merata adalah untuk kebaikan dan generasi bagi anak cucu kita. (*)

*) Penulis adalah akademisi di UIN STS Jambi



BERITA BERIKUTNYA