*) Oleh: Maimunah Permata Hati Hasibuan
Dalam wacana pemilu, masalah perempuan dan lingkungan selalu dibahas terpisah. Keduanya dianggap masalah yang tidak berhubungan langsung. Padahal banyak perempuan tidak bisa ikut menjadi penyelenggara pemilu di daerah terpencil dikarenakan peran perempuan terlalu rumit dalam aktivtas lingkungan baik pertanian dan perkebunan
Kita akan selalu menguji benarkah penggambaran perempuan yang memenuhi kuota 30 persen itu benar-benar mencerminkan kualitas dan nilai perubahan, atau hanya sekedar alat politik simbolis partai yang memenuhi syarat elektoral?
Diketahui keterwakilan perempuan diatur dalam Peraturan KPU No. 7, (2013) yang mengatur bahwa jumlah dan persentase keterwakilan perempuan di setiap daerah pemilihan harus minimal 30%. Setidaknya satu kandidat perempuan kemudian ditempatkan untuk setiap tiga kandidat yang memungkinkan. Peraturan itu juga menegaskan, KPU tidak akan menerbitkan daftar calon definitif partai yang tidak memenuhi syarat keterwakilan perempuan di daerah pemilihan.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2019 mencatat jumlah petani perempuan di Indonesia sebanyak 8 juta lebih. Bahkan 40% dari semua aktivitas bertani di Indonesia dilakukan oleh perempuan. Semua masalah ini harus disikapi dan ditangani, terutama dari sisi perempuan. Dengan cara ini, partisipasi perempuan dalam politik memungkinkan dukungan dan pembelaan mereka terhadap isu-isu kualitas hidup dan kesejahteraan yang membebani mereka.
Sayangnya, kompleksitas persoalan perempuan kurang mendapat perhatian dari partai politik sebagai wadah bagi perempuan politik untuk bekerja dan memperjuangkan hak-haknya. Hal ini terlihat dari kekhawatiran mayoritas partai politik terhadap tenggat waktu pencalonan calon anggota parlemen yang berujung sama, yakni sulitnya mencari kader perempuan untuk mencalonkan diri.
Sulit bagi kami untuk mengatakan dengan pasti apakah persoalan minimnya kader perempuan ini benar-benar kenyataan atau hanya ditutup-tutupi oleh partai politik untuk menutupi kepentingan lain. Jika benar partai kesulitan mencari kader perempuan yang berkualitas, tetap tidak adil jika hanya menyalahkan perempuan. Perempuan petani di pedesaan urung berkolaborasi karena tekanan akses dan jengjang waktu yang cukup menyita mereka.
Menekan Rekrutmen
Karena mereka merupakan lebih dari setengah dari 230 juta penduduk perempuan Indonesia, maka kepentingan dan kebutuhan perempuan harus lebih efektif mendapatkan perhatian dan agenda khusus dari partai politik melalui program rekrutmen dan pendidikan massal.
Oleh karena itu, kesulitan partai dalam merekrut calon perempuan lebih dimaknai sebagai kegagalan partai dalam menjalankan fungsi utamanya sebagai wadah pendidikan dan pembaharuan politik. Potret presentasi politik. Potret partai-partai korup dan presentasi anggota parlemen menyadarkan masyarakat, khususnya perempuan, terhadap politik. Partai politik membutuhkan perspektif baru untuk memberikan pelayanan dan teladan yang positif kepada masyarakat agar perempuan di mana pun berada terinspirasi dan siap terjun ke arena politik yang dipandang kotor dan menjijikan.
Paradigma Peran
Dari perspektif ekofeminis, perempuan dan lingkungan memiliki hubungan khusus. Menurut Emma Foster (2021), ekofeminisme kembali: hubungan antara perempuan dan lingkungan bukanlah hubungan biologis melainkan salah satu pengalaman umum dari penindasan dan eksploitasi di bawah patriarki dan kapitalisme.
Dari perspektif ekofeminisme, lingkungan dipandang sebagai subjek perempuan dan subjek budaya, sebagaimana hubungan patriarki antara perempuan dan laki-laki. Maka wacana politik masih dianggap wilayah yang tak tersentuk dari peran perempuan
Komitmen banyak negara terhadap pembangunan lingkungan yang berkelanjutan telah menciptakan perspektif baru tentang ekofeminisme. Saat ini, perspektif ekofeminisme menikmati popularitas baru, tetapi juga terancam oleh perkembangan yang tidak seimbang. Berdasarkan kehadiran perempuan dalam proses pengambilan keputusan lingkungan, degradasi lingkungan yang terus berlanjut setidaknya dapat mengurangi ketidaksetaraan gender dalam institusi.
Keberadaan perempuan sebagai menteri atau politis lingkungan hidup dan kehutanan seharusnya menggarisbawahi pentingnya pemerintah mengambil tindakan politik untuk mengatasi kerusakan lingkungan jangka panjang. Sejauh ini, perbaikan lingkungan di Indonesia hanya menghasilkan solusi jangka pendek yang berbasis ekonomi dan teknologi.
Pemilu yang akan datang bukan soal menang dan mewakili tetapi mengurai masalah kekerasan dan ancaman bagi perempuan sehingga di tahuan pemilu selanjutnya mereka bisa berpartisipasi penuh. Dalam daftar tahunan Komnas Perempuan yang diterbitkan pada awal Maret 2023 mengungkapkan 11 pengaduan pada tahun 2022 tentang pengalaman kekerasan perempuan dalam konflik sumber daya alam dan jumlah yang sama dalam konflik di bidang pertanian. Kemudian jenis kekerasan ilegal yang dialami perempuan mengkhawatirkan aparat kepolisian dalam 18 kasus pidana. Bahkan, pengalaman kekerasan perempuan di negara tersebut meningkat hampir 80% (68 kasus) dibandingkan tahun 2021 (38 kasus).
Yang menjadi perhatian khusus tentunya adalah meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah negara. Karena negara yang seharusnya menjaga harkat dan martabat kemanusiaan warganya justru turut membahayakan nyawa warganya. Perempuan khususnya berjuang melawan perusakan lingkungan, yang dihadapkan pada kekerasan dan ancaman dari berbagai sisi.
Bisnis, lembaga penegak hukum, dan pemerintah sering menghadapi tentangan dari perempuan sekaligus melindungi sumber kehidupan. Terkadang penolakan bahkan datang dari orang-orang terdekat. Di satu sisi mereka harus berjuang melawan rasa takut diancam oleh penguasa, di sisi lain melawan rasa takut akan kehancuran dan hilangnya mata pencaharian mereka. Hal ini tentu menambah kompleksitas situasi perempuan yang memperjuangkan sumber daya alam dan lingkungan.
Perempuan merupakan kelompok yang sangat rentan mengalami kekerasan berbasis gender dalam kehidupannya atau karena perannya dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan lingkungan. Kekerasan seringkali ditargetkan secara fisik dan sangat traumatis, seperti pelecehan seksual langsung atau digital. Seolah belum cukup, kekerasan juga terjadi sebagai cara untuk membatasi partisipasi dalam pengambilan keputusan lingkungan.
Misalnya, di banyak tempat posisi perempuan dalam struktur kepemilikan tanah sangat lemah karena mereka hanya berhak menggunakan tanah. Padahal, perempuan paling dekat dengan hutan. Ketika laki-laki melepaskan hak komunalnya atas hutan, perempuan sebagai pencari nafkah utama keluarga kehilangan akses ke hutan yang menjadi sumber nafkah keluarga mereka. Bentuk-bentuk diskriminasi ini disebabkan oleh ketidaksetaraan sistemik dan ketidakseimbangan kekuatan yang berasal dari budaya patriarki yang mengakar kuat di Indonesia.
*) Penulis adalah Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Berbagi Berkah Ramadhan, Pengurus PWI Kota Jambi Bagikan Sembako ke Rumah Yatim
Bawaslu Jambi Ungkap Beragam Potensi Pelanggaran Dalam PSU Pilkada Bungo
Kemas Faried Tegaskan Dukung Penuh Program Prioritas 100 Hari Walikota dan Wakil Walikota Jambi
Kabar Gembira! Pengangkatan CPNS Ditargetkan Tuntas Juni, PPPK Oktober
Operasi Ketupat 2025, Kapolda Jambi: Ibadah Paling Mulia Mengorbankan Diri Untuk Kenyamanan Masyarak