IMCNews.ID - Prasasti Bahagas ditemukan pada 2018 silam di kawasan kepurbakalaan Hindu-Buddha Padang Lawas, Sumatera Utara. Balai Arkeologi Sumatera Utara melakukan penelitian terhadap prasasti tersebut dengan metode kualitatif dan bersifat deskriptif.
Dari hasil analisis didapatkan kesimpulan bahwa Prasasti Bahagas dibuat dari batuan andesit, berbentuk lapik arca, menggunakan aksara pasca-palawa atau paleo-sumatera, dan berbahasa Batak yang diartikan sebagai bangunan yang kuat dan kokoh.
Melansir dari hasil penelitian tersebut, penyebutan kata bahagas ini dapat menambah asumsi bahwa masyarakat pendukung kepurbakalaan Hindu-Buddha di Padang Lawas adalah masyarakat beretnis Batak.
BACA JUGA : Kota Tua Binanga Tertulis Dalam Prasasti Kedudukan Bukit Sriwijaya
Dalam penelitian tersebut diuraikan, di Desa Binanga, Kecamatan Barumun godangTengah, Kabupaten Padang Lawas terdapat bangunan bagas Godang Binanga. Informasi penduduk, bagas godang tersebut dibangun kurang lebih tahun 1788.
Kondisi bangunannya sudah rapuh tak terawat. Tak jauh dari situ, terdapat makan kuno yang dipercaya sebagai makam pendiri kampung tersebut yang dinamai makam Sutan Bangun Hasibuan.
Di makam itu dijumpai sebuah prasasti yang dijadikan sebagai batu nisan. Konon menurut cerita yang dikisahkan masyarakat sekitar, dulunya prasasti ini ditemukan dalam kondisi terbenam pada lereng di samping makam.
BACA JUGA : Candi Padang Lawas dan Kerajaan Panai
Kemudian ada seorang keturunan Sutan Bangun Hasibuan yang melintas menggunakan pedati dan tersangkut di batu itu. Dia lantas mengangkat batu itu dan ternyata batu tersebut adalah sebuah batu bertulis, dianggap sebagai batu nisan milik Sutan Bangun Hasibuan yang terlepas.
Oleh karenanya, batu itu kemudian dipindahkan ke makan dijadikan batu nisan. Makam Sutan Bangun Hasibuan berada di arah utara-selatan, dan merupakan makam Islam.
Batu prasasti yang tidak lagi utuh itu memiliki tinggi 55 cm, lebar 30 cm, dan tebal keseluruhan 16 cm berbahan batu andesit. Salah satu sisinya terdapat tulisan beraksara pascapalawa atau paleo-sumatera.
Dari hasil pembacaan diketahui bahwa prasasti tersebut berbunyi bahagas. Dilihat dari bentuknya, Prasasti Bahagas ini sepintas terlihat berbentuk blok dengan bagian puncak membentuk segitiga lancip.
Bentuk blok ini berkembang sekitar abad 9-16 Masehi dan umumnya berkembang di Jawa Timur. Namun apabila diperhatikan dan disesuaikan kembali dengan konteks penulisan prasastinya, yang mana seharusnya diputar 900 dari bentuknya sekarang, maka prasasti tersebut tidak berbentuk blok namun berbentuk lapik.
Lapik adalah alas atau ganjal suatu benda yang diletakkan di atasnya, namun karena sudah tidak insitu lagi dan tidak diketahui lagi benda (arca?) apa yang ada di atas lapik berprasasti tersebut.
Sementara jika dilihat dari bentuk aksaranya, Prasasti Bahagas menggunakan aksara Pasca-palawa, yang secara paleografis mirip dengan aksara Jawa Kuno.
Kata bahagas merupakan salah satu bentuk kata yang dapat dianalisis berdasarkan ilmu Linguistik sehingga dapat diketahui makna dari penulisan kata tersebut. Kata bahagas kemungkinan merupakan bahasa Batak Angkola-Mandailing yang saat ini dikenal dengan istilah bagas yang berarti rumah, dalam, bait.
Dari analisis yang dilakukan Balai Arkeologi Sumatera Utara dapat diinterpretasikan bahwa masyarakat pendukung kepurbakalaan Hindu-Buddha di Padang Lawas merupakan masyarakat beretnis Batak Angkola-Mandailing.
Dengan adanya Prasasti Bahagas, dapat menjadi salah satu bukti bahwa masyarakat Batak Angkola-Mandailing telah ada sejak masa kepurbakalaan Hindu-Buddha di Padang Lawas.
Bahkan kata Bahagas yang diinterpretasikan menjadi kata bagas ‘bangunan yang kuat dan kokoh’ dalam perkembangannya tidak lagi merujuk pada sebuah bangunan suci atau biara namun telah berubah bentuk dan makna menjadi bangunan adat masyarakat Batak Angkola-Mandailing yang dikenal sekarang dengan sebutan bangunan bagas godang.
Sampai saat ini telah lebih dari 20 struktur, maupun gundukan yang dijumpai di wilayah tersebut. Temuan struktur itu tersebar mengikuti aliran sungai Batang Pane dan Sungai Barumun, yakni Biara Sipamutung, Biara Bahal 1, 2, dan 3, Biara Tandihat 1, 2 dan 3, Biara Sitopayan, Biara Bara, Biara Sangkilon dan masih banyak tinggalan kepurbakalaan lainnya.
Selain itu masih banyak juga tinggalan artefak lainnya seperti arca-arca, pecahan bata, prasasti yang ditemukan baik insitu maupun tidak insitu lagi. Sebagian telah disimpan di Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara dan Museum Nasional. Namun, sebagian lagi masih dijumpai di permukiman warga di sekitar kepurbakalaan Padang Lawas. (*)
Sumber: penelitian Balai Arkeologi Sumatera Utara
Gubernur Al Haris Tegaskan Pemprov Jambi Tak Rumahkan Honorer
Refleksi HPN Riau 2025, Ketua SMSI Jambi Mukhtadi Ingatkan Koreksi Diri Hadapi Tantangan Digital
Tak Ada Lagi Istilah Pengecer LPG 3 Kg, Dijadikan Sub-Pangkalan, Ini Bedanya
Terungkap, 351 Pelabuhan Tikus Selundupkan Barang Ilegal di Sepanjang Pulau Sumatera
PT Timah Pecat Pegawai yang Viral Hina Honorer Gunakan Layanan BPJS Kesehatan